Monday, June 13, 2016

Senyuman Dalam Kegelapan

Namaku Kevin, saat ini aku duduk di bangku SMA. Jika aku diminta mendeskripsikan kehidupan sekolahku, satu kata yang akan terucap.. Membosankan...  Aku bukan siswa yang terkenal di sekolah. Jika siswa terkenal menguasai minimal satu dari tiga bidang ini: olahraga, musik, atau akademik, aku tidak menguasai satupun, aku bisa dibilang siswa rata-rata. Di bidang olahraga aku pernah ikut ekskul futsal, tapi tidak pernah masuk tim dan akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Di bidang musik, aku pernah tertarik belajar drum, tapi karena melihat banyak teman-temanku yang lebih mahir aku merasa minder dan memutuskan berhenti. Kalau soal akademik, kadang masuk sepuluh besar kadang juga tidak, tergantung dari niat belajar dan suasana hatiku.

Dari semua penjelasanku di atas, nampaknya kegagalan untuk menjadi siswa terkenal ada pada diriku sendiri. Ketidakmampuanku untuk berusaha sekuat tenaga dan fokus menjadikanku siswa yang biasa-biasa saja. Tapi sebelum kalian menghakimi diriku sebagai seorang "pemalas" atau " si mudah menyerah", coba lihat temaku yang satu ini. Namanya James, dia merupakan bintang bersinar di sekolahku. Kalau kalian pernah menonton film Divergent, yang tokoh utamanya menguasai lebih dari satu fraksi, James bisa dibilang sama seperti itu. Ia menguasai tiga bidang, olahraga, musik, dan akademik. Bagaimana bisa? Ohh pasti bakat dari Tuhan. Mungkin di kehidupan sebelumnya ia banyak beramal sehingga diberikan hidup enak di kehidupan yang sekarang.

James satu kelas denganku. Setiap wanita di kelasku tidak ada yang tak tergila-gila padanya. Bayangkan saja, dia peringkat dua di kelasku, satu tingkat di bawah temanku yang kutu buku abis. Soal musik, kemampuan bermain pianonya membuat cewek-cewek bisa menjerit kagum dan "lumer". Kalau soal olahraga doi jagonya, status kapten tim basket disandang si James. Sekali lagi kutegaskan, dia mendapatkan banyak bakat dan berkat dari Tuhan. Pasti kehidupan sekolahnya penuh warna, jauh dibandingkan diriku. Aku terkadang iri dengannya, apakah aku perlu banyak-banyak berdoa agar bisa mendapatkan banyak kemampuan seperti James?

Saat pengambilan rapor tengah semester, aku dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling (BK), nilai-nilaiku banyak yang turun. Aku tidak kaget dengan hasil ini, aku benar-benar kehilangan motivasiku untuk bersekolah. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bermain game, mencoba lari dari kehidupan sekolah yang membosankan. Bangun tidur, sarapan, pergi ke sekolah, mendengarkan guru mengoceh, pulang,ya begitu seterusnya, sungguh membosankan. Kehidupan James pasti berbeda dengan diriku, senyuman pasti selalu terpancar dari raut wajahnya..

Saat aku masuk ke ruang BK, aku melihat pemandangan tidak wajar. James ada di situ sedang mengobrol dengan guru BK sambil menangis. HAH?! Siswa nomor  satu di sekolahku berbuat onar dan dipanggil guru BK? Mana mungkin! Memikirkannya saja sudah seperti menonton lelucon di televisi. 
"Kevin.. Hei Kevin. Jangan bengong! Masih siang." Aku tersadar dari lamunanku ketika guru BK memanggilku untuk duduk di bangku. James dengan mata yang sendu keluar dari ruangan meninggalkan tanda tanya.

"Bu. Sebelum ibu menanyai berbagai macam hal tentang alasan nilai saya turun, saya mau tanya satu hal. Tadi James keliatan nangis bu, dia kenapa? Berantem?"
"Ibu tidak boleh menceritakannya ke kamu karena rahasia. Intinya James yang terlihat berprestasi juga memiliki beban sendiri yang harus ia tanggung."

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Namaku James, aku seorang siswa SMA. Kehidupan sekolahku bisa dibilang menyenangkan. Aku suka sekali bermain basket dan piano. Dari hobi itu aku ternyata bisa menyumbangkan sesuatu ke sekolahku, Aku bisa memimpin tim basket sekolahku dan aku juga bisa menyumbangkan beberapa lagu untuk dibawakan saat pentas seni di sekolah. Aku tak menyangka banyak dari teman-temanku yang menyukai penampilanku.

Kehidupan menyenangkan di sekolah berbeda 180 derajat dengan kehidupanku di rumah. Papaku seorang senior manager di sebuah perusahaan, Mamaku seorang pengacara. Mereka berdua jarang ada di rumah, jadi walaupun aku hidup berkecukupan, tapi sepertinya aku kurang dekat dengan kedua orang tuaku. Perasaan kesepian ini nampaknya sudah masuk ke alam bawah sadarku dan bertransformasi menjadi tindakan-tindakan mencari kesenangan. Aku mencoba berada di berbagai suasana di keramaian, aku jadi rajin pergi clubbing, bahkan tak jarang menenggak minuman keras untuk melepas rasa kesepian.

Belakangan, mama dan papa menjadi sering bertengkar. Mereka saling menyalahkan karena adikku yang diam-diam mengkonsumsi narkoba bersama temannya. Aku mencoba menasehatiku adikku, namun ia malah kabur dari rumah. Hancurlah sudah keluargaku.. Tempat satu-satunya yang paling menyenangkan adalah sekolah. Tempat itu adalah pelarian bagiku. Aku bisa tersenyum dan membuat orang lain bahagia, walaupun di dalam hati kegelapan menyelimuti diriku.

Satu hari, saat pengambilan rapor tengah semester. Aku menunggu gilarnku dipanggil untuk menghadap wali kelas. Teman-temanku yang datang semuanya bersama orang tua. Aku hanya duduk sendiri di situ. Seperti biasa, mama dan papaku sibuk bekerja dan tidak sempat meluangkan waktu untukku. Aku duduk di paling depan, dekat meja yang digunakan wali kelas untuk memberikan konsultasi dengan orang tua murid. Saat itu temanku Kevin dan orang tuanya sedang berkonsultasi dengan wali kelas. Samar-samar aku dapat mendengar pembicaraan mereka

" Kevin nilainya turun Bu." Kata wali kelas menjelaskan
" Tuh kan. Emang belakangan mama perhatiin kamu banyak main game."
"Semester selanjutnya mama mau liat kamu nilainya naik lagi, mama percaya kamu pasti bisa."
"Iya ma..." Kevin menjawab nasehat mamanya dengan ekspresi begitu membosankan

Ketika aku mendengarkan perbincangan mereka banyak perasaan yang timbul di hatiku, ada perasaan sedih, iri, dan heran. Aku melihat sosok ibu yang walaupun terlihat memarahi anaknya, tetapi di dalam nasehat tersebut banyak rasa cinta di dalamnya. Aku bahkan tidak menganggapnya sebagai sebuah omelan, tetapi sebuah bahasa kasih yang diberikan seorang ibu pada anaknya. Mengapa Kevin menanggapinya begitu enteng. Aku merasa iri, aku juga ingin diperhatikan seperti itu oleh papa dan mama.

Sepulang dari mengambil rapor, aku melihat mobil papa dan mama terparkir di rumah. Di dalam rumah terdengar suara yang gaduh, sudah pasti mereka bertengkar lagi. Ketika aku masuk ke dalam rumah, kagetlah aku melihat papa dengan tanpa keraguan sedikitpun menampar mama di depan mataku. Aku mencoba mendorong papa, menjauhkannya dari mama, namun pukulan keraslah yang kuterima. Entah mengapa aku ingin lari...Aku berlari ke tempat pelarianku.. Sekolah... Dan pada akhirnya aku memutuskan untuk bertemu dengan guru BK untuk mengungkapkan semua bebanku......


End



-Hans Christian-

No comments:

Post a Comment